Sunday, September 25, 2011

menjadi Soe Hok Gie


Zaman sekarang, sulit sekali bagi generasi muda Indonesia untuk mencari ‘role model’ lokal dari negeri sendiri. Ngaku deh, kebanyakan dari kita memilih tokoh-tokoh luar negeri sebagai ‘role model’ kita, baik dalam gaya berpakaian, bersikap, dan pola perilaku serta sudut pandang. Saya pun, seperti kebanyakan remaja lainnya, lebih memilih mengidolakan tokoh-tokoh luar negeri dibanding tokoh-tokoh lokal dengan alasan jarak usia yang cukup jauh. Tokoh-tokoh yang saya maksudkan disini adalah tokoh-tokoh yang ‘hasil kerja’nya dikenal secara global, sebut saja tokoh-tokoh semacam Bung Karno dan Bung Hatta.

Sampai suatu saat saya ‘menemukan’ Gie. Soe Hok-gie, nama lengkapnya. Sebelum film tentang kehidupannya yang dibesut Riri Riza diluncurkan, saya belum pernah mendengar tentangnya sama sekali. Baru ketika filmnya diluncurkan dan saya menontonnya, saya merasa telah menemukan tokoh lokal yang tepat untuk saya jadikan sebagai ‘role model’.
Soe Hok-gie. Sosok sederhana itu meninggal di usia muda, kira-kira 40 tahun yang lalu. Saya bukan ingin membahas kiprah politiknya yang mengesankan itu, namun disini saya ingin membahas tentang keteguhan hati, integritas, dan nasionalisme serta kejujuran yang ditunjukkan almarhum Gie semasa hidupnya yang ‘hanya’ 27 tahun itu.
Saya rasa, sebagai generasi penerus bangsa – terutama sebagai IYC-ers – kita wajib menduplikasi sifat-sifat Soe Hok-gie ke dalam diri kita.
Gie hanya seorang manusia biasa seperti kita. Yang membuatnya berbeda adalah semangatnya dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi serta pemikirannya yang didasarkan atas keadaan yang ia tangkap dari masyarakat. Gie adalah seorang aktivis yang humanis. Dalam tulisan-tulisannya, Gie tidak hanya menuangkan pendapatnya sebagai aktivis politik yang intelek, tetapi juga sebagai bagian dari kaum minoritas (masyarakat kelas menengah ke bawah). Sebagai contoh, ia menentang keras komunisme namun juga paling keras memprotes ketika Pemerintah Orde Baru – di bawah rezim Soeharto – membunuh simpatisan-simpatisan PKI di pulau Bali. Gie menilai, simpatisan-simpatisan itu hanyalah korban dari hasutan PKI.
Saya kira, sifat Soe Hok-gie yang berani menuangkan aspirasinya adalah sifat yang wajib ada dalam setiap diri kita. Kebebasan menuangkan aspirasinya telah menjadi hak esensial kita, kenapa tidak memanfaatkan hal tersebut dengan sebaik-baiknya?
Belum lagi integritas serta sifat nasionalisme Gie yang berkobar. Gie adalah seorang keturunan Tionghoa namun ia dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai warga negara Indonesia asli. Bahkan dalam beberapa hal, tindak-tanduknya lebih ‘Indonesia’ ketimbang warga asli Indonesia sendiri.
Dalam menyampaikan aspirasi kita, tidak perlu lagi turun ke jalan dan berdemo di bawah terik matahari – cukup dengan menulis. Soe Hok-gie – melalui tulisan-tulisannya – dianggap telah menjadi salah satu pelopor runtuhnya rezim Orde Lama (yang ketika itu sudah korup) dan berganti menjadi rezim Orde Baru. Disini kita lihat bagaimana dengan perjuangan secara tidak langsung pun, kita masih dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Tidak perlu menjadi Taufik Kiemas kalau hanya dengan menjadi Soe Hok-gie; menjadi seseorang yang berani berpendapat dan memegang teguh apa yang ia yakini — kita pun bisa turut serta dalam membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.

sumber:http://shout.indonesianyouthconference.org/article/azwitasari/1926-menjadi-soe-hok-gie/

Green Day - Minority

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info