Saya
ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin
seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil …
orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur"
Alangkah cepatnya waktu bergulir, hingga tanpa terasa empat dasawarsa
telah berlalu. Dan hari ini, tepat 44 tahun yang lalu (16 Desember
1969), di puncak Para Dewa, Puncak Gunung Semeru, Soe Hok Gie bersama
Idhan Dhanvantari Lubis pergi meninggalkan kita semua untuk selamanya.
Soe Hok Gie, Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis
manis FSUI, selain seorang kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing
gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama
sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, tapi
kalau di gunung makannya gembul. Berikut adalah kisah disekitar
saat-saat terakhir kehidupan seorang pemikir, penulis, juga aktivis
pemberani yang bernama Soe Hok Gie….
Soe Hok Gie si Cina Kecil
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Pemuda yang banyak membaca ini
sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”. Soe juga ikut mendirikan
Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia), dimana salah
satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin
pendakian Gunung Slamet (3.442 mdpl), Soe mengutip Walt Whitman dalam
catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best
person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the
earth”.
Bersama Mapala UI, Soe berencana menaklukkan Gunung Semeru yang
tingginya 3.676 mdpl. Tanggal 8 Desember sebelum berangkat, Soe sempat
menulis pada catatannya : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri
saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu
yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian.
Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina
dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini
adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu
cepat.” Soe meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum
ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung
tersebut. Soe meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis (20
tahun). Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan
dengan meninggalnya Soe di puncak gunung tersebut.
Kenangan Batu dan Daun Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku
harian Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran – penerbit LP3ES, 1983),
dapat digambarkan cuaca sore hari itu , tanggal 16 Desember 1969 di
Puncak Semeru gerimis dan berkabut tebal.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringsaloka di Puncak
Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang
mengembus membentuk tiang awan, Rudy Badil berjalan terseok-seok gontai
menuruni dataran terbuka penuh pasir dan bebatuan ditemani Maman. Mereka
berusaha menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk
hidung dan paru-paru.
Di depan terlihat Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan
lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil
sungai kering. Sementara itu Tides dan Wiwiek sudah turun duluan. Sempat
pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan.
Dengan tertawa kecil, Soe sempat menitipkan batu dan daun cemara.
“Simpan dan berikan kepada kepada kawan-kawan batu berasal dari tanah
tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung
tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata
terakhirnya yang terdengar oleh Maman dan Rudy, sebelum keduanya turun
ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca
purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang dibuat hanya terdiri dari dua lembar ponco
(jas hujan tentara), Rudy, Tides, Wiwiek dan Maman menunggu kedatangan
Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Saat hari semakin sore, hujan pun mulai
menipis dan lamat-lamat dikejauhan terlihat beberapa puncak gunung
lainnya. Namun letupan di Jonggringsaloka tetap terdengar jelas dan tak
kenal lelah.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil
memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!”
katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap
racun, atau hanya patah tulang. Karena khawatir, kami mencoba berjalan
tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan
Idhan berkali-kali. Tak ada jawaban dan kami pun kembali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda
darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal!
Mereka semua bingung, tak tahu harus berbuat apa kecuali berharap semoga
laporan Herman itu tidak benar. Mereka berharap semoga Soe dan Idhan
cuma pingsan, sehingga besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan
tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing. Tapi
harapan tinggal harapan.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju
perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri
dengan dua bungkus mie kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang
hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta yang lain menjaga
kesehatan Maman yang terlihat masih shock, karena sempat tergelincir dan
jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides
sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat
tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta
tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. Baru keesokan
paginya, tanggal 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Soe dan Idhan
sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka menjumpai
jasad kedua kawan mereka sudah kaku. Semalam suntuk Soe dan Idhan
terlelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang
dingin menandakan sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan
halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup rapat serapat katupan bibir
birunya. Kami semua diam dan sedih.
Keinginan Tak Sampai
Sejak dari Jakarta Soe memang sudah merencanakan akan memperingati hari
ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15
Desember, di dalam tenda yang sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe
yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami
menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang.
Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan
tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk
rebusan mie hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam yang dingin
dan hujan itu, mereka banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana
Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang
tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu
Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari pada hari yang nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan
pendakian ke puncak, mereka sarapan berat. Soe yang biasanya cuma
bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru.
Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di
kantung. “Keren enggak?” tanyanya.
Rombongan pun mulai berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari
dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu
memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita
dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih
banyak Harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut
kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus
tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman
hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (Rudi), asal muasal
nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang
berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan
betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak
orang. Mereka yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan
hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari
karena kehabisan makanan, mereka bertambah sedih saat menerima surat
dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan
sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan
10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll.
secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Rudy pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa
surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan
bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang
dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan …
kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak
mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota berkumpul lagi pada
tanggal 22 Desember di Malang. Mereka terlihat kurus dan kelelahan.
Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS.Claket. Sedangkan Soe
dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk
terakhir kali, mereka coba menengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda,
terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi
hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Tanggal 24 Desember 1969, Soe Hok Gie dimakamkan di pemakaman Menteng
Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah
Abang. Tahun 1975 Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober
sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan
teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya
dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut
akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di antara
bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawani di puncak Gunung Pangrango,
tempat dimana Soe Hok Gie biasa merenung seperti patung.
Sumber : http://www.kaskus.co.id/post/51ba8f508127cf800b000002#post51ba8f508127cf800b000002